Hai teman-teman, perkenalkan nama saya CPdt. Yenda Fetra Yani Sinaga, S.Th. Saya sebagai salah satu calon pelayan yang sedang mengikuti live in selama 3 minggu di HKBP Aids Ministry. Sejak bertemu pertama sekali dengan pasien ODHIV di kantor HAM tepatnya pada hari Selasa 02 April 2024, saya mendapatkan pengalaman bertemu dan berinteraksi langsung dengan pasien ODHIV. Pertemuan itu sangat banyak membuat pemahaman saya tentang HIV-AIDS berubah. Selama ini saya masih memiliki stigma yang negatif kepada para orang-orang yang terkena HIV. Saya memahami bahwa ODHIV itu orang-orang yang harus dihindari karena mereka bisa jadi akan menularkan penyakit kepada kita dengan sengaja. Sadisnya, selama ini saya menganggap orang yang terkena HIV adalah orang jahat karena pastinya mereka yang terkena HIV adalah pelaku seks beresiko yang suka gonta-ganti pasangan dan pemakai narkoba. Sehingga selama ini saya selalu berharap tidak dipertemukan dengan orang HIV AIDS.
Awalnya, ketika saya tahu bahwa saya ditempatkan untuk live in selama tiga minggu di HKBP AIDS Ministry, saya merasa takut dan tidak suka karena hal yang selama ini saya hindari justru harus saya hadapi secara langsung. Namun, ketika saya mendapatkan sosialisasi dari kantor dan berkesempatan bertemu langsung dengan ODHIV, stigma dan pandangan saya berubah. Ternyata apa yang saya pahami dan apa yang saya pikirkan tentang HIV-AIDS selama ini belum tepat. Beberapa pola pikir saya yang berubah (semoga apa yang saya dapatkan ini juga mampu membantu pemahaman teman-teman pembaca) adalah:
Pertama, ternyata penularan HIV tidak semudah hanya dengan bersentuhan, keringat, berpelukan, dsb. HIV hanya bisa ditularkan lewat 4 hal yaitu hubungan seksual beresiko, menggunakan jarum suntik yang terinfeksi HIV secara bergantian, transfusi darah dari orang yang terinfeksi HIV, penularan dari ibu ke anak (melalui kehamilan, persalinan, menyusui).
Kedua, memang pemahaman saya bahwa orang yang terkena HIV adalah orang yang melakukan seks beresiko atau gonta-ganti pasangan dan pemakai narkoba tidak salah. Namun, setelah berkomunikasi langsung dengan pasien ODHIV, tidak semua pasien yang terinfeksi HIV adalah pelaku seks beresiko dan pemakai narkoba, tetapi karena korban dari suami, istri, atau orangtua yang terinfeksi HIV. Artinya, suami atau istri terinfeksi HIV, kemudian melalui hubungan seksual menularkan ke pasangan sehingga mereka terinfeksi HIV, sama halnya dengan anak yang terinfeksi HIV karena dilahirkan atau diberi ASI dari ibu dengan status ODHIV kemudian si anak juga terinfeksi HIV.
Ketiga, ternyata HIV dan AIDS itu berbeda. HIV adalah virusnya, sementara AIDS adalah dampak yang ditimbulkan virus HIV seperti Infeksi Paru (TBC), penurunan berat badan secara drastis, kehilangan nafsu makan dan demam berkelanjutan, diare kronis yang berlangsung lama dan berulang, sesak napas dan batuk yang berkepanjangan, infeksi jamur pada mulut dan tenggorokan. Artinya, orang yang terkena HIV tidak selamanya terkena AIDS selama pasien dengan cepat mendapatkan perawatan yang tepat. Orang yang terkena HIV, seumur hidup akan menyandang status ODHIV, tetapi menariknya ternyata virus dalam ODHIV bisa dilemahkan hingga jumlah virus mencapai 0 dengan minum obat ARV secara rutin dan konsisten seumur hidup . ARV tetap menjadi obat tunggal yang telah ditemukan oleh WHO untuk mengeliminasi virus HIV di dalam tubuh ODHIV. Banyak orang, termasuk saya, mungkin tidak mengetahui hal ini. Saya merasa heran ketika melihat banyak ODHIV yang datang ke kantor tampak sehat seperti orang biasa, ternyata mereka adalah orang-orang yang telah mengkonsumsi ARV. Dari situ, saya menyadari bahwa mereka bukanlah orang-orang yang harus dihindari atau dijauhi, karena mereka memiliki banyak kesamaan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV. Perbedaannya hanya mereka akan selalu berstatus sebagai ODHIV dan mengkonsumsi ARV sepanjang hidup mereka.
Dengan demikian, saya melihat bahwa sosialisasi kepada masyarakat tentang HIV-AIDS menjadi tugas yang harus dilakukan terus menerus sampai masyarakat memiliki stigma dan pemahaman yang baik tentang orang yang terkena HIV-AIDS. Dan melalui tulisan ini, saya pertama hendak mengajak teman-teman sekalian untuk tidak ragu melakukan tes HIV. Apabila terjadi kemungkinan terinfeksi, jangan takut dan segera lakukan konsultasi kepada pihak yang bersangkutan, salah satunya ke HKBP AIDS Ministry yang ada di RS HKBP Balige.
Sebagai poin kedua, saya ingin mengajak para pembaca untuk tidak menghindari atau mendiskriminasi orang-orang yang terinfeksi HIV, seperti yang pernah saya lakukan sebelumnya. Sebaliknya, mari kita tetap berinteraksi, berbagi, dan mendukung mereka agar tetap bersemangat. Terlebih dengan penerimaan kita, orang-orang yang memiliki risiko tertular HIV yang berada di sekitar kita, namun masih menutup diri mau melakukan tes HIV dan mendapatkan pengobatan yang tepat, sehingga tidak menularkan HIV kepada orang lain. Demikianlah, kita berkontribusi dalam pencegahan dan pengendalian HIV AIDS.