Sekitar 5,8 juta orang yang hidup dengan HIV pada tahun 2019 (laporan UNAIDS, 2020), ada di wilayah Asia. Tiga perempat dari infeksi ini terjadi di antara populasi kunci dan pasangannya. Perlaku berisiko seperti berganti-ganti pasangannya dan rendahnya penggunaan kondom di antara laki-laki seks laki-laki dan waria perlu ditangani, jika tidak segera ditangani maka dikhawatirkan akan terjadi peningkatan kasus.
Selain itu, sering sekali terjadi kriminalisasi di antara praktik populasi rentan bersingunggan dengan HIV dan AIDS dalam berbagai cara. Hal inilah yang menjadikan upaya penurunan infeksi HIV semakin meningkat, hal ini diperparah oleh stigma diskriminasi kepada gay dan transpuan cukup tinggi.
CCA mengakui pentingnya mengatasi penyebaran HIV dan AIDS di masyarakat. Untuk memerangi penyakit ini, penting untuk mengusahakan kebijakan daerah terkait dengan kesehatan seksualitas manusia dan mendorong masyarakat untuk melukan hubungan seksual yang aman.
Diakones Berlina Sibagariang, sekretaris eksekutif HKBP AIDS Ministry mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh Christian Center of Asia untuk dapat memperlengkapi gereja untuk terlibat dalam mengatasi persoalan tersebut. Konsultasi Regional Online 'Menuju Advokasi yang Efektif tentang HIV dan AIDS untuk Menegakkan Martabat Gender dan Minoritas Seksual' ini berlangsung selama dua hari dan diikuti sebanyak 31 peserta dari berbagai negara di Asia dan sekitarnya.
Konsultasi yang berlangsung sejak tanggal 24-25 Maret 2022 ini menampilkan empat fasilitator, mereka ialah Mr Quinten Lataire, UNAIDS Asia Pasifik, Prof Pdt Dr Emanuel Gerrit Singgih, Universitas Kristen Duta Wacana, Indonesia, Ibu Tharindi Devasurendra Manajer Proyek, Youth Voices Count, dan Pendeta Tony Franklin – Ross, Gereja Metodis di Selandia Baru dan Ketua Hubungan Ekumenis, Dewan Metodis.
Tujuan dari konsultasi ini ialah untuk
1. Untuk memiliki pemahaman teologis yang relevan dan kontekstual tentang kerentanan HIV dan AIDS.
2. Menetapkan strategi bersama tentang peran lembaga iman dan berbasis agama dalam merespon isu indentitas, ekspresi dan orientasi.
3. Untuk menciptakan ruang yang inklusif danramah bagi ODHA dan kelompok rentan lainnya.
4. Untuk memahami keragaman gender dan seksual serta hubungannya dengan program dan layanan HIV
5. Untuk memperhatikan ketentuan pidana pada masyarakat yang terpinggirkan.