HKBP AIDS Ministry
HKBP AIDS Ministry

Melawan Stigma, Merayakan Kehidupan: Refleksi Nia Oktavia di Lini Depan HKBP AIDS Ministry

Melawan Stigma, Merayakan Kehidupan: Refleksi Nia Oktavia di Lini Depan HKBP AIDS Ministry

Oleh Adha Pratiwi Sianturi, 16 Apr 2024

Hai nama saya Nia Oktavia, seorang calon Diakones yang sedang menjalani kegiatan live-in di HAM (HKBP AIDS MINISTRY). Awal pertama saya dan rekan-rekan datang ke kantor HAM yang berada di Balige pada hari Kamis, 28 Maret 2024 bersama dengan 7 orang teman saya. Pada hari itu juga kami disuguhi pemaparan singkat terkait dengan HIV & AIDS bagaimana penularan serta dampaknya. Perasaan saya ketika mendengarkan penjelasan tersebut, jujur masih ada perasaan takut karena memang selama ini konsep saya terhadap ODHIV masih terbilang negatif melihat fenomena yang terjadi baik dari lingkungan saya ketika itu, juga berita dari sosial media mengenai penyakit tersebut. Namun, setelah mendengarkan pemaparan singkat terkait dengan HIV sedikit mencelikkan pemahaman saya yang dahulu cukup tabu menjadi sedikit lebih berani dan yang kemudian me njadi bekal saya ketika esok harinya harus pergi ke House of Love yang ada di Nainggolan dengan kurun waktu satu minggu, di mana tempat tersebut adalah tempat anak-anak ODHIV tinggal bersama.
Sesampainya di sana saya langsung berinteraksi dengan anak-anak ODHIV dengan berjabat tangan dan perkenalan singkat lalu kemudian makan bersama kebetulan pada saat kami sampai sudah sore hari dan sudah waktunya untuk makan malam. Di atas saya katakan bahwa masih ada perasaan takut, apalagi pada saat makan bersama dengan anak-anak ODHIV. Namun, mengingat bagaimana penularannya terjadi, sedikit demi sedikit saya berhasil menepis rasa takut kala berinteraksi dengan mereka.

Di Shelter kami hidup bersama dalam satu rumah, di mana kegiatan di tempat tersebut mengharuskan untuk berinteraksi satu dengan yang lain. Melihat anak-anak di sana yang memiliki tanggung jawab masing-masing mulai dari bangun pagi hingga pada malam hari. Saya melihat mereka benar-benar diajarkan untuk mandiri sejak dini, karena usia anak-anak di sana di mulai dari usia 6- 15 tahun. Mereka benar-benar hidup disiplin baik, dimulai dari pola hidup sehat, makanan, obat rutin (jam nya tidak boleh lewat dan kurang), susu sebagai vitamin serta jam tidur yang sudah dihaturkan. Selama berada di sana terbersit dalam benak saya, bahwa ternyata ada banyak orang dengan hidup yang tidak mudah. Mereka dengan sakit yang di idap yang bergantung pada obat (ARV) yang harus dikonsumsi setiap hari, bahkan mereka mengkomsumsinya sudah terlihat biasa. Di mana pada umumnya obat identik dengan rasa pahit bahkan saya sendiri masih sulit untuk minum obat, namun bukan dengan mereka yang sudah terbiasa.

Melihat anak-anak di sana saya langsung berpikir bahwa saya sebagai calon pelayan kelak yang melayani di tengah-tengah gereja dan masyarakat harus dengan lantang meyuarakan bahwa tidak boleh melakukan hubungan seks bagi mereka yang belum terikat dalam hubungan pernikahan. Bagi kaum muda seperti perkumpulan Re-Na (remaja naposo) saya akan dengan lugas menandaskan bahwa hubungan seks haruslah dilakukan di dalam pernikahan yang kudus. Mengingat pemaparan tim HAM yang mengatakan bahwa sekarang ini sudah ada beberapa gereja yang melakukan pemeriksaan kesehatan, yang di salah satunya ada tes HIV sebagai salah satu syarat sebelum melangsungkan pernikahan. Kembali saya juga akan merealisasikan hal tersebut dan menghimbau kepada jemaat yang akan saya layani kelak. Hal tersebut saya lakukan dalam upaya untuk menghentikan penularan HIV. Seperti misi HAM dan dunia sendiri, bahwa pada tahun 2030 tidak ada lagi penularan HIV baru.
    Ketika saya melihat mereka (anak-anak dengan HIV), saya merasa sedih, karena secara langsung saya melihat ADHIV seperti diasingkan. Kejadian itu saya saksikan saat kami membawa anak-anak ODHIV ke gereja, untuk mengikuti buha-buha ijuk (ibadah paskah subuh). Ada beberapa anak yang tidak mau duduk bersama dengan mereka. Dalam situasi itu saya melihat betapa pentingnya untuk menyuarakan kepada seluruh jemaat, dari anak kecil hingga orang-orang tua, bahwa yang perlu dijauhi adalah penyakitnya bukan orangnya, yaitu dengan mencegah penularannya. Sebagaimana diketahui bahwa penularannya dapat melalui cairan vagina, cairan sperma, air susu ibu, dan darah. Sehingga, mereka tidak perlu menjauhi anggota jemaat, atau teman yang hidup dengan HIV. Sesungguhnya, mereka adalah anak istimewa yang juga membutuhkan dukungan dari orang-orang di sekitarnya sehingga memperoleh kesembuhan baik secara fisik dan psikis. Dengan demikian, terpenuhilah perintah yang dinyatakan oleh Allah sebagaimana yang dicatat dalam pasal 25 ayat 40 dari Injil Matius dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku. Banyak orang yang hidup dengan HIV (ODHIV) sering kali menghadapi pandangan negatif dari masyarakat yang kurang memahami bagaimana HIV ditularkan. Kurangnya edukasi tentang HIV sering kali membuat mereka menjadi sasaran stigma dan diskriminasi. Ketidaktahuan mengenai penularan HIV melalui hubungan seksual yang aman, penggunaan jarum suntik yang terkontaminasi, serta transmisi dari ibu ke anak, seringkali menimbulkan prasangka yang tidak berdasar terhadap ODHIV. Akibatnya, banyak ODHIV merasa malu, terisolasi, dan mengalami depresi.

Oleh karena itu, sangat penting untuk meningkatkan pendidikan tentang HIV agar stigma dan diskriminasi terhadap ODHIV dapat dihilangkan. Banyak ODHIV mengalami kehilangan pekerjaan, penolakan di sekolah, dan bahkan pengusiran dari rumah mereka akibat stigma ini. ODHIV bukanlah orang yang patut dipandang hina; mereka adalah korban dari ketidaktahuan dan ketidakpedulian.
Sudah saatnya kita menghentikan stigma dan mulai menunjukkan kasih sayang serta dukungan kepada mereka. Sakit yang mereka alami membuat mereka dikucilkan sekelompok orang, sementara penyakit tersebut adalah hal yang mereka tidak inginkan terkhususnya, anak yang hidup dengan HIV (ADHA), sebab mereka terinfeksi melalui orangtuanya. Logikanya setiap anak pasti ingin sehat dan bertumbuh seperti anak lainnya yang bermain bersama tanpa harus mengalami diskriminasi dari sekitarnya. Sebagai calon pelayan, saya mengajak anda untuk tidak memberikan stigma dan diskriminasi kepada ODHIV. Bagi saya, jika Anda tidak dapat membantu, setidaknya jangan menjadi pihak yang mendiskriminasi. Mari kita bersama-sama menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung, agar setiap anak dapat tumbuh dan berkembang dengan penuh cinta dan kesempatan yang sama, tanpa dibayangi oleh stigma atau diskriminasi.

ARTIKEL TERBARU
Oleh ,
Jl. Gereja No.17, Lumban Dolok Haume Bange, Balige, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara
© 2020 HKBP AIDS MINISTRY. All rights reserved